Profesor dari Kolom Komentar: Gelar Baru Era Digital

Dipagi hari yang cerah sambil menikmati secangkir kopi dan sepiring lupis yang nikmat dan secara kebetulan terbaca sebuah kutipan dari Neil DeGrasse Tyson pernah bilang, “Di era digital, semua orang merasa setara dengan ilmuwan, karena mereka punya opini.”
Nah, kalimat ini lucu tapi juga nyentil betul, seperti sindiran halus tapi rasanya pedas di hati.

Coba deh, buka media sosial lima menit aja.
Ada yang jadi dokter dadakan, ahli ekonomi instan, analis politik paruh waktu, bahkan “pakar bumi datar” full-time. Semua berbekal modal sinyal dan keberanian untuk berkomentar.

Begini contohnya:
Seorang ilmuwan butuh waktu 10 tahun penelitian untuk memastikan sesuatu. Tapi di kolom komentar, seseorang warganet yang dengan percaya dirinya bilang,

“Ah, itu salah! Saya pernah nonton videonya di TikTok, katanya nggak gitu!”

Ilmuwan: 10 tahun riset.
Warganet: 10 detik scroll.
Skor akhir: 1–0 untuk komentar paling yakin.

Kadang, lucunya, orang bukan cuma punya opini, tapi menjadikan opini sebagai fakta suci.
Kalau kita bilang, “Eh, coba baca dulu datanya,” jawabannya,

“Saya nggak perlu data, saya punya perasaan.”
Lah, sejak kapan logika bisa dikalahkan oleh feeling?

Era digital ini memang luar biasa. Dulu, kalau kita nggak tahu sesuatu, kita diam dan bertanya. Sekarang, kalau nggak tahu—ya tetap bicara, tapi makin kencang.
Saking semangatnya, kadang suaranya lebih nyaring daripada mereka yang benar-benar ngerti.

Tapi ya, kita nggak bisa sepenuhnya menyalahkan. Dunia maya memang memberi panggung untuk semua orang. Masalahnya, bukan semua orang sadar bahwa nggak semua panggung cocok untuk stand-up. Ada yang harusnya duduk dulu, belajar dulu, baru berdiri bicara.

Bayangkan kalau setiap orang yang punya Wi-Fi merasa setara dengan ilmuwan, maka hasilnya bisa kacau. Dunia ini penuh dengan teori konspirasi, “riset pribadi”, dan debat kusir yang ujung-ujungnya cuma bikin panas kuping.

Padahal, menjadi “tahu” itu bukan sekadar punya opini.
Menjadi tahu berarti mau mencari, menguji, dan meragukan dulu—bukan langsung percaya karena “katanya.”

Jadi, mungkin pesan dari kutipan Tyson itu sederhana:
Di zaman semua orang bisa bicara, coba deh belajar mendengar dan jangan lupa ngopi juga 🙂
Karena kadang, yang paling keras suaranya bukan yang paling paham, tapi yang paling cepat sinyalnya.

Exit mobile version